Softskill
TUGAS 6
Kelompok
Minggu 13
MONOPOLI
1.
Monopoli
Secara
bahasa, Monopoli berasal dari bahasa yunani, yaitu Monos dan Polein. Monos berarti
sendiri, sedangkan Polien berarti penjual. Jika kedua kata tersebut
digabung , saya memaknakan secara garis besar bahwa monopoli adalah “menjual
sendiri” yang berarti bahwa seseorang atau suatu badan/lembaga menjadi penjual
tunggal (penguasaan pasar atas penjualan atau penawaran barang ataupun jasa).
Monopoli
adalah suatu penguasaan pasar yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan
atau badan untuk menguasai penawaran pasar (penjualan produk barang dan atau
jasa di pasaran) yang ditujukan kepada para pelanggannya.
Bagaimana dengan PT PLN, apakah itu suatu praktek monopoli ? Kalau menurut saya
itu bisa dibilang sebuah praktek monopoli dan juga bisa dibilang bukan praktek
monopoli, kenapa ? Bisa dibilang praktek monopoli karena PT PLN memanglah
satu-satunya perusahaan listrik di indonesia yang menguasai pangsa pasar di
indonesia. Tapi bisa juga dibilang bukan praktek monopoli karena PT PLN adalah
perusahaan milik negara yang bertugas melayani para warga ataupun penduduk
indonesia.
Monopoli
memiliki ciri-ciri beberapa hal, yaitu :
a. Penguasaan
pasar, pasar akan dikuasai oleh sebagian pihak saja.
b. Produk
yang ditawarkan biasanya tidak memiliki barang pengganti.
c. Pelaku
praktek monopoli dapat mempengaruhi harga produk karena telah menguasai pasar.
d. Sulit
bagi perusahaan lain untuk memasuki pasar.
2.
Oligopoli
Pasar Oligopoli adalah pasar yang hanya terdiri atas
beberapa perusahaan atau penjual yang menjual produk homogen (sejenis). Pasar
Oligopoli yang terjadi atas dua perusahaan atau dua penjual saja disebut pasar
dupoli.
Ciri-ciri pasar oligopoli sebagai berikut:
- Hanya terjadi beberapa perusahaan.
- Menghasilkan barang homogen dan dan berbeda corak.
- Terdapat hambatan masuk ke dalam pasar sehingga hanya ada sejumlah kecil
perusahaan dalam pasar tersebut.
- Perusahaan oligopoli perlu melakukan iklan.
Kelebihan pasar oligopoli sebagai berikut:
- Mengingat dalam oligopoli ada kecenderungan adanya persaingan antarprodusen baik dalam harga maupun
bukan hal harga, maka jika di antara produsen melakukan persaingan bukan dalam
harga (seperti dalam kualitas dan service/ pelayanan) akan ada kecenderungan
konsumen untuk mendapatkan mutu produk dan pelayanan secara baik.
- Jika produsen dalam pasar oligopoli melakukan persaingan dalam harga, maka
konsumen juga cenderung mendapatkan harga yang stabil atau kalau pun berubah
justru cenderung mengalami penurunan.
- Produsen dalam pasar oligopoli umumnya perusahaan besar, sehingga mempunyai
dana untuk penelitian dan pengembangan yang cukup.
Sedangkan Kelemahan pasar oligopoli sebagai berikut:
- Dalam pasar oligopoli cenderung terjadi pemborosan penggunaan sumber daya
ekonomi, karena produsen tidak beroperasi pada biaya rata-rata (AC) minimum,
artinya perusahaan sering beroperasi secra tidak efisien.
- Ditinjau dari segi distribusi pendapatan masyarakat, pasar oligopoli sering
menimbulkan ketidakadilan.
- Pada pasr oligopoli sering terjadi eksploitasi baik terhadap konsumen maupun
pemilik faktor produksi.
3.
Suap
Suap
adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau
perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya,
contoh, para pejabat, dan membujuknya untuk merubah otoritasnya demi keuntungan
orang yang memberikan uang atau barang atau perjanjian lainnya sebagai
kompensasi sesuatu yang dia inginkan untuk menutupi tuntutan lainnya yang masih
kurang.
Suap
dalam berbagai bentuk, banyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain
sebagainya. Adapaun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap.
Pengertian
Suap. disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa
syariat disebut dengan risywah. Secara istilah adalah memberi uang dan
sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam
suatu urusan.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi” yang
dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap
adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Suap
juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu
kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. Sedangkan
dalam fikih, suap atau risywah cakupannya lebih luas. Sebagaimana dikatakan Ali
ibn Muhammad Al Jarjuni dalam kitab Ta’rifat,Beirut(1978),
Dr.
Yusuf Qordhawi mengatakan, bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan kepada
seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan apapun untuk menyukseskan
perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau
memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya.
Suap
adalah pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram
dan kotor. Suap ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan
hukum atau syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun
secara tidak langsung. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam
hal yang batil. Suap pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan
saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap -biasanya-
diberikan sebelum pekerjaan.
Adapun
pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
a) Uang
dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati senang, tanpa
penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang
atas yang lainnya.
b) Uang
dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan
berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi menginginkan
sesuatu.
c) Uang
dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si
pemberi uang.
Dalam
buku NU Melawan Korupsi (Kajian tafsir dan fikih yang dikeluarkan oleh PB NU
dengan kemitraan menyebutkan bahwa dalam fikih Islam makna suap tidak hanya
memiliki ruang lingkup terbatas dari rakyat untuk pegawai negeri atau pejabat
negara, tetapi bisa dari dua arah. Penguasa, pegawai negeri, atau pejabat
negara yang memberikan uang kepada rakyat atau tokoh masyarakat untuk memutuskan
menentukan pilihan dalam pilkada, pilgub dan pilpres yang sering disebut money
politics juga termasuk kategori suap.
Selain itu, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
juga dianggap sebagai pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Penyuap
dan Penerima Suap Dalam bahasa syari’ah penyuap disebut dengan ar-Rasyi
yaitu orang yang menyuap. Sedangkan orang yang disuap disebut al-Murtasyi.
Penyuap
adalah orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut. Selain itu seseorang dianggap sebagai pemberi suap
apabila memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Setiap
orang yang memberi sesuatu kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat
menjadi pegawai pada sebuah instansi dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak,
baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan
menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau
mengambil hak orang lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang
yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya adalah orang
yang memberi suap.
Sedangkan penerima suap adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya.
Setiap
orang yang menerima hadiah atau janji dengan maksud untuk melakukan sesuatu
bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu
dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan, atau menyukseskan perkaranya dengan
mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang
kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya adalah penerima suap.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang menerima suap adalah orang yang
memberikan rekomendasi bagi orang lain setelah orang itu memberikan sesuatu
kepadanya.
Baik orang yang memberi ataupun yang menerima suap, sama-sama mendapatkan
hukuman karena dengan melakukan suap tersebut kedua belah pihak telah merugikan
pihak lain.
Definisi
suap didalam Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap) Pasal
2 ... memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk
membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum, Pasal 3 ... menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu
dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum,
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberian dlm bentuk uang
atau uang sogok kepda pegawai negri.
Dalam
arti yang lebih luas suap tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa
pemberian brang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan
fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang
pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
Perbuatan
suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri, pejabat
negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan/pengaruh. Pemberi
suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu.
Perbuatan
suap pada hakekatnya bertentangan dengan norma sosial, agama dan moral. Selain
itu juga bertentangan dengn kepentingan umum serta menimbulkan kerugian
masyarakat dan membahayakan keselamatan negara.
Akan tetapi kenyataanya banyak perbuatan yang mengandung unsur suap belum
ditetapkan sebagai perbuatan pidana, misalnya pemilihan perangkat desa,
penyuapan dalam pertandingan olahraga, dan lain sebagainya.
Batasan untuk kepentingan umum ditegaskan dalam pasal 2, pasal 3
serta paragraf ke 3 Undang-Undang No 11 tahun 1980 tentang suap, termasuk untuk
kepentingan umum kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik
profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing.
Aturan
yang menunjuk adanya kekhususan, sebagaimana terdapat dalam perumusan ancaman
pidana yang menggunkan perumusan kumulatif ancaman pidana penjara dan denda.
Ex: ps 2 UU No 11 thn 1980 ( diperuntukan bagi pesuap aktif ), ps 3
undang-undang No 11 tahun 1980 (diperuntukan bagi pesuap fasif)
Unsur
Delik dalam Tindak Pidana Suap
Pasal 2 Undang-Undang 11 tahun 1980 tentang tindak pidana Suap yang
menyatakan:….Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan
maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya
yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana
penjara selamalamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya
Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Berdasarkan
Pasal tersebut unsur-unsur perbuatan pidana suap terdiri dari:
a) Barang
siapa
b) Memberi
dan menjanjikan ssuatu kpda orang lain
c) Dengan
maksud membujuk supaya penerima suap berbuat atau tdak berbuat ssuai dengan
tugasnya yang bertentangan dengan kewenangannya dan kewajibanya
d) Bertentangan
dengan kepentingan umum
Dalam
pasal 3 Undang-undang Tindak pidana suap yang menyebutkan
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut
dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan
dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana
karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”.
Berdasarkan
bunyi pasal diatas unsur perbuatan pidana suap terdiri dari:
a) Barang
siapa
b) Menerima
sesuatu atau janji
c) Melakukan
perbuatan atau tdk melakukn perbuatan yang bertentangan dengan kewenangan atau
kewajiban
d) Menyangkut
kepentingan umum
Unsur
objekti dalam tindak pidana suap berupa pemberian atau janji untuk memberi
sejumlah uang atau dalam bentuk barang lainnya kepada orang yang mempunyai
kewenangan dan atau kekuasaan yangmenyangkut kepentingan umum (pesuap aktif),
serta penerima suap (pesuap pasif), apabila dia menduga atau patut diduga,
bahwa pemberian tsb terkait dengan jabatan atau kewenangan yang dimilikinya,
maka sudah dikatakan unsur objektif. Tindak pidana Suap sebegaimana dirumuskan
dalam pasal 2 dan 3 tersebut diatas menggunakan rumusan formil artinya yang
diancam pidana adlah perbuatan bukan akibatnya. Namun untuk menjatuhkan saknsi
pidana kepada pesuap aktif harus dibuktikan adanya unsur niat/kehendak yang
dituju oleh pembuat., sedangkan sebagai penerima cukup adanya dugaan/ kepatutan
(kondisi objektif), bahwa penerima mengetahui/sudah layak mengetahui, bahwa
pemberian sesuatu atau janji itu berkaitan dengan kewenangan atau kewajiban
yang ia miliki. sebagaimana ditentukan dlm UU, pesuap aktif dan pasif sama
diancam dengan pidana penjara dana denda. Pembentuk undang-undang memberikan
ancaman pidana denda yang sama bagi keduanya yaitu Rp 15.000.000. pembentuk UU
membedakan sanski pidananya, pesuap pasif diancam pidana yang lebih berat
(paling lama 5 tahun penjara) sedangkan pesuap aktif ancaman pidananya paling
lama 3 thn penjara.
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang
maupun barang kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang
bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun
tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah tindakan
yang mengakibatkan sakit atau kerugian di pihak lain.
4.
Undang-undang
anti monopoli
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis
sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
(pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli .
Sementara
yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi
oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu
persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum Sesuai
dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
5.
Kasus
pada berbagai struktur pasar
Contoh
kasus dari struktur pasar adalah berdirinya pasar modern (super market)
disekitas pasar tradisional. Disini termasuk kedalam pasar monopoloistis yang
artinya didalam pasar ini terdapat banyak produsen yang menghasilkan barang
serupa tapi tetap memiliki perbedaan. Dari kasus ini konsumen lebih memilih
untuk berbelanja dipasar modern tersebut, hingga membuat para produsen
mengalamai penurunan penghasilan. Kalau dilihat mengapa terjadi seperti itu,
bisa dikarenakan konsumen lebih memilih tempat yang lebih nyaman untuk mereka
berbelanja walaupun mungkin harga produknya sedikit lebih mahal. Tapi ini semua
tergantung dari selera konsumen, tidak semua konsumen nyaman dengan berbelanja
dipasar modern, begitu juga sebaliknya.
Sumber
:
Individu
Minggu 14
KASUS-KASUS
1.
Kasus
BUMN
Jakarta, Aktual.co — Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap melakukan
penyimpangan keuangan negara. Berdasarkan hasil penelaahan Badan Akutanbilitas
Keuangan Negara Dewan Pimpinan Rakyat (BAKN-DPR), berdasarkan laporan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester I tahun 2013, tercatat 510 penyimpangan
dilakukan BUMN.
Demikian
disampaikan Pimpinan BAKN, Sumarjati Arjoso, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta
Selatan, Rabu (20/11).
"Dalam
IHPS (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester) I tahun 2013 terdapat 21 obyek
pemeriksaan terkait BUMN dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang
meliputi pelaksanaan, subsidi, kewajiban pelayanan umum (KPU), operasional
BUMN, dan pengelolaan pendapatan, biaya, investasi, dana program kemitraan dan
bina lingkungan (PKBL), terdapat 510 kasus penyimpangan," ungkap Sumarjati.
Bahkan
menurut dia, dari 234 kasus, terkait kelemahan Sistem Pengendalian Internal
(SPI) dan 276 kasus terkait ketidak patuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan.
Ia
mengatakan, dari 510 kasus yang ada, sebanyak 93 kasus merupakan kasus-kasus
yang mengakibatkan kekurangan penerimaan di BUMN senilai Rp 2,60 triliun.
"Selain
itu, terdapat 28 kasus ketidakefektifan senilai Rp 44,75 triliun di beberapa
BUMN karena tidak tepat sasaran," kata dia.
Oleh
sebab itu, BAKN DPR mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review,
peninjauan kembali terhadap UU No.17 tahun 2013 tentang keuangan negara.
Pasalnya
menurut dia, jelas tidak tepat dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat
2, tentang cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak harus dikuasai negara.
Pasal
33 menjelaskan di mana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya juga dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
“Jadi,
yang harus dipisahkan adalah pengelolaan BUMN, yang harus profesional dan
independen dengan melepaskan campur tangan politik dan kekuasaan pada bisnis
BUMN,” tukas Sumarjati.
Seperti
diketahui, Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas
Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
Para
pemohon menggugat ruang lingkup keuangan negara sepanjang frasa, "termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah (Pasal 2
huruf g)” dan “Kekayaan pihak lain yang diperoleh menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah (Pasal 2 huruf i)".
Pasal
tersebut dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, karena BUMN sebagai entitas bisnis diperlakukan berbeda dengan sektor
swasta.
Dalam
praktiknya, regulasi untuk BUMN lebih ketat dibandingkan sektor
swasta. Sementara di sisi lain BUMN juga dituntut menghasilkan laba yang besar.
2.
Kasus
Merger
Danamon
yang merupakan contoh kasus merger kedua, didirikan pada tahun 1956 dengan nama
Bank Kopra Indonesia. Nama ini kemudian berubah menjadi PT Bank Danamon
Indonesia pada tahun 1976 sampai sekarang. Pada tahun 1988, Danamon menjadi
bank devisa dan setahun kemudian adalah publik yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta.
Sebagai akibat dari krisis keuangan Asia di tahun 1998, pengelolaan Danamon
dialihkan di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
sebagai BTO (Bank Taken Over). Di tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui
BPPN, melakukan rekapitalisasi sebesar Rp32,2 triliun dalam bentuk obligasi
pemerintah. Sebagai bagian dari program estrukturisasi, di tahun yang sama PT
Bank PDFCI, sebuah BTO yang lain, melakukan merger yang kemudian mengubah nama
menjadi bagian dari Danamon. Kemudian di tahun 2000, delapan BTO lainnya (Bank
Tiara, PT Bank Duta Tbk, PT Bank Rama Tbk, PT Bank Tamara Tbk, PT Bank Nusa
Nasional Tbk, PT Bank Pos Nusantara, PT Jayabank International dan PT Bank
Risjad Salim Internasional) dilebur ke dalam Danamon. Sebagai bagian dari paket
merger tersebut, Danamon menerima program rekapitalisasinya yang ke dua dari
Pemerintah melalui injeksi modal sebesar Rp 28,9 triliun. Sebagai surviving
entity, Danamon bangkit menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia.
3. Kasus Akuisisi
Kasus
PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi
perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi.
Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya
saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di
akuisisi.
Akuisisi
biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition
atau take over . pengertian acquisition atau take over adalah
pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan
lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take
over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”)
Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan
tersebut.
Esensi
dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan
menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas
sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat
dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan
dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan
dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham
perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan
membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui
perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang
saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam
mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan
dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan,
pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya
dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam
sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1)
huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan
bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU
No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan. Majelis Komisi
menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan
perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008)
pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini
sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan
mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU
No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan
pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini
disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan
potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading
terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms
kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis
Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan
pemasok di Carrefour cukup signifikan.
4.
Kasus
Tender
Majelis
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan PT Samudrajaya Niaga
Perkasa (Terlapor I), PT Inti Samudera Abdi Nusantara (Terlapor
II), Panitia Pengadaan Pekerjaan Subsidi Pengoperasian Kapal Perintis
Trayek R-10 Pangkalan Surabaya Tahun Anggaran 2009 (Terlapor III)terbulti
melanggar Pasal 22 UU Anti Monopoli.
Dalam
siaran persnya, Majelis yang terdiri dari Prof Tresna P Soemardi (Ketua), AM
Tri Anggraini, dan Prof Ahmad Ramadhan masing-masing
sebagai anggota, menyatakan dugaan pelanggaran tersebut terjadi dalam Tender
Pekerjaan Subsidi Pengoperasian Kapal Perintis Trayek R-10 Pangkalan Surabaya
Tahun Anggaran 2009.
Dalam Perkara
No 19/KPPU-L/2009 ini, Majelis menilai perilaku para pelaku
usaha dalam hal persekongkolan horizontal maupun vertikal. Dalam amarnya,
Majelis menghukum Terlapor I membayar denda sebesar Rp200 juta. Majelis
juga melarang Terlapor II mengikuti proses tender pengoperasian kapal
perintis Trayek R-10 Pangkalan Surabaya selama jangka waktu 1 (satu)
tahun setelah Putusan ini berkekuatan hukum tetap.
Sumber :